Kebanyakan Ikan Asin Bisa Kanker Nasofaring  

Posted in


Menurut Dr. Budianto Komari, Sp.THT, spesialis onkologi THT di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, konsumsi ikan asin secara terus-menerus dalam dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu lama, rupanya bisa menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya kanker nasofaring.

Peringatan itu mengemuka dalam seminar yang rutin diselenggarakan oleh RS Dharmais, Selasa pekan lalu. Dalam seminar bertajuk Kanker Nasofaring, Diagnosis dan Pengobatan, Dr. Budianto mengungkapkan bahwa ikan asin merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus Epstein-Barr sehingga menimbulkan kanker nasofaring.

Nasofaring adalah daerah tersembunyi yang terletak di belakang hidung berbentuk kubus. Bagian depan nasofaring berbatasan dengan rongga hidung, bagian atas berbatasan dengan dasar tengkorak, serta bagian bawah merupakan langit-langit dan rongga mulut.

Virus Epstein-Barr adalah virus yang berperan penting dalam timbulnya kanker nasofaring. Virus yang hidup bebas di udara ini bisa masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di nasofaring tanpa menimbulkan gejala. Dikatakan, nitrosamin yang merupakan salah satu metabolisme dalam ikan asin merupakan mediator dari virus Epstein-Barr tersebut.

Sebenarnya bukan hanya ikan asin, makanan yang mengandung protein dan diawetkan juga bisa menjadi mediator. Namun, sejauh ini ikan asin yang lebih banyak diteliti.

"Angka kejadian kanker nasofaring memang cukup tinggi pada golongan nelayan tradisional di Hong Kong yang mengonsumsi ikan asin," kata Dr Budianto.

Selain ikan asin, mediator lain yang juga bisa ikut menimbulkan kanker nasofaring adalah lingkungan dengan ventilasi yang kurang baik, pembakaran dupa, kontak dengan zat karsinogen seperti pada pekerja pabrik bahan kimia, ras, dan keturunan, serta radang kronis
nasofaring. Ras mongoloid, disebut Dr. Budianto, merupakan faktor dominan untuk timbulnya kanker tersebut.

Kanker nasofaring, yang lebih banyak ditemui pada laki-laki, merupakan tumor ganas. Kanker nasofaring merupakan tumor ganas pada daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia.

Sekitar 70 persen dari benjolan di leher bagian atas adalah kanker nasofaring. Berdasarkan data laboratorium patologi anatomi, tumor ganas nasofaring menduduki peringkat keempat dari seluruh keganasan setelah kanker rahim, payudara dan kulit.

Sayangnya, sekitar 60-95 persen penderita kanker nasofaring datang pada stadium III-IV. Bila hal ini terjadi, terapi radiasi sebagai treatment of choice akan lebih baik jika dikombinasi dengan kemoterapi.

Gejala kanker nasofaring biasanya tergantung pada derajat penyebaran dan lokasi tumbuhnya tumor. Gejala yang sering ditemukan adalah pembesaran kelenjar di bagian leher. Gejala tidak khas seperti hidung tersumbat, ingus, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, kelumpuhan pada otot mata, penglihatan ganda, kelumpuhan otot lidah juga merupakan gejala yang ditemui pada penderita kanker nasofaring.

Bila hasil uji klinis dan biopsi menunjukkan hasil positif, pasien harus diterapi. Sebenarnya penanda tumor sudah bisa dilakukan. Caranya, dengan melakukan pemeriksaan imunoglobulin A (IgA), anti-Early Antigen (anti-EA) dan anti- Viral Caption Antigen (anti-VGA). Meski sudah ada penanda tumor, uji klinis dan biopsi tetap harus dilakukan untuk memastikan hasilnya.



umber : http://www.kompas.com/ online Selasa, 29 Juni 2004 jam 2.48

This entry was posted at 03.34 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar